MATERI DEMOKRASI DALAM ISLAM - BLOG PELAJAR NUSANTARA -->

    Social Items

MATERI DEMOKRASI DALAM ISLAM

MATERI KELAS XII

BAB 6 DEMOKRASI DALAM ISLAM

 


Baca Juga :


DEMOKRASI

Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara. Dalam Materi Demokrasi Dalam Islam kali ini tidak lepas dari masalah demokrasi dan syura, yang antara kedua nya memiliki perbedaan dan persamaan. Namun sebenarnya materi ini ada kaitanya juga dengan Materi Berfikir Kritis dan Demokratis yang sebelumnya sudah pernah saya post. Mari kita bahs bersama materi nya di bawah ini.


Di negara Indonesia sendiri demokrasi menjadi pilar prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.


Demokrasi menurut KBBI adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, pemerintahan rakyat.


Demokrasi sendiri jika di lihat dari Wikipedia adalah bentuk pemerintahan di mana warga negaranya memiliki hak yang sama pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.


Secara kebahasaan, demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti kekuasaan. 



Secara istilah, kata demokrasi ini dapat ditinjau dari dua segi makna.

Pertama, demokrasi dipahami sebagai suatu konsep yang berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan terhadap adanya kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang danmenghendaki peletakan kekuasaan di tangan orang banyak (rakyat) baik secara langsung maupun dalam perwakilan.

 


Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang menghargai hakhak dan kemampuan individu dalam kehidupan bermasyarakat.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa istilah demokrasi awalnya berkembang dalam dimensi politik yang tidak dapat di hindari.



Secara historis, istilah demokrasi memang berasal dari Barat. Namun jika melihat dari sisi makna, kandungan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan cita-cita kemanusiaan secara universal (umum, tanpa batas agama maupun etnis).



Demokrasi sendiri dalam islam biasanya diidentikkan dengan syura karena adanya titik persamaan di antara keduanya. 



SYURA

Syura menurut bahasa, dalam kamus Mu’jam Maqayis al-Lugah, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu.


Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, di antara mereka adalah:

  1. Ar Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan saling mengoreksi antara peserta syura”.
  2. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam al-Qur'an, mendefinisikannya dengan “berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) yang peserta syuranya saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki”.
  3. Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer dalam asy Syura fi zilli Nizami al-Hukm al-Islami,di antaranya adalah “proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”.



Adapun dalil nakli tentang demokrasi salah satunya ada dalam Q.S. Ali Imran : 159


imam-pendidikan.blogspot.com


Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imron : 159)

 

Asbabun Nuzul

Sebab-sebab turunnya ayat 159 surat  Ali-Imranini kepada Nabi Muhammad saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a., Ibnu Abas r.a. menjelaskan bahwasanya setelah terjadi perang Badar Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khatab r.a. untuk meminta pendapat mereka tentang para tawanan perang Badar. Abu Bakar r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada keluarga mereka dan keluarga mereka membayar tebusan. Namun Umar bin Khatab r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah keluarga mereka. Rasulullah saw. kesulitan dalam memutuskan, kemudian turun ayat 159 surat Ali-Imranini sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar r.a. (HR.Kalabi). (Depag, 2011:Al-Quran Tafsir Perkata, hal.72)


 

Tafsir/Penjelasan Ayat

Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita kekalahan, tetapi Rasulullah saw. tetap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar, bahkan memaafkan dan memohonkan ampun untuk mereka. Seandainya Rasulullah bersikap keras, tentu mereka akan menaruh benci kepada beliau. Dalam pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa memberi maaf terhadap orang yang berbuat salah serta memohonkan ampun kepada Allah Swt. terhadap kesalahan-kesalahan mereka.



Di samping itu, Rasulullah saw juga senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin patuh terhadap keputusan yang diperoleh tersebut, karena merupakan keputusan mereka bersama Rasulullah saw. Mereka tetap berjuang dengan tekad yang bulat di jalan Allah Swt.. Keluhuran budi Rasulullah saw inilah yang menarik simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik sehingga mau masuk Islam.



Dalam ayat di atas tertera tiga sifat dan sikap yang secara berurutan disebut dan diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Meskipun ayattersebut berbicara dalam konteks perang uhud, tetapi esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim, terutama ketika hendak bermusyawarah.



Sedangkan sikap yang harus diambil setelah bermusyawarah adalah memberi maaf kepada semua peserta musyawarah, apapun bentuk kesalahannya. Jika semua peserta musyawarah bersikap “memaafkan” maka yang terjadi adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di luar musyawarah, baik karena pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain.



Dalam al-Qur'an terdapat banyak ayat yang berbicara tentang nilai-nilai dalam demokrasi seperti dalam Firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-Isra/17:70, Q.S. al-Baqarah/2:30, Q.S. al-Hujurat/49:13, Q.S. asy-Syura/42:38 serta berbagai surat lain. Inti dari semua ayat tersebut membicarakan bagaimana menghargai perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah dan lain sebagainya yang merupakan unsur-unsur dalam demokrasi.



Di samping ayat-ayat tersebut, banyak juga hadis Rasulullah yang  mengisyaratkan pentingnya demokrasi, karena beliau dikenal sebagai  pemimpin yang paling demokratis. Di antaranya adalah hadis yang  menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling suka bermusyawaradalam banyak hal, seperti hadits berikut:

Artrinya:

 

“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat dari pada Rasulullah saw.” . [HR. at-Tirmizi].



Hadis di atas menjelaskan bahwa menurut pandangan para sahabat, Rasulullah saw adalah orang yang paling suka bermusyawarah. Dalam banyak urusan yang penting beliau senantiasa melibatkan para sahabat untuk dimintai pendapatnya, seperti dalam urusan strategi perang. Sikap Rasulullah tersebut menunjukkan salah satu bentuk kebesaran jiwa beliau dan kerendahan hatinya (tawadhu’), meskipun memiliki status sosial paling tinggi dibanding seluruh umat manusia, yaitu sebagai utusan Allah Swt.. Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia di sisi Allah Swt. itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy(dapat dipikirkan dan dimusyawarahkan karena bukan wahyu), padahal bisa saja Rasulullah memaksakan pendapat beliau kepada para sahabat, dan sahabat tentu akan menurut saja. Tetapi itulah Rasulullah, manusia agung yang tawadhu’ dan bijaksana.



Sikap rendah hati Rasulullah hanya satu dari akhlak mulia lainnya, seperti kesabaran dan lapang dada untuk memberi maaf kepada semua orang yang bersalah, baik diminta atau pun tidak. Itulah Rasulullah, teladan terbaik dalam berakhlak.


Dalam kehidupan bermasyarakat, musyawarah menjadi sangat penting karena:

  • Permasalahan yang sulit menjadi mudah setelah dipecahkan oleh  orang banyak lebih-lebih kalau yang membahas orang yang ahli.
  • Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak.
  • Menghindari prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya dengan orang banyak
  • Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain
  • Berlatih menghargai pendapat orang lain.



Persamaan Antara Demokrasi dan Syura


Dari beberapa definisi Syura dan demokrasi di atas, dapat melihat bahwa Syura hanya merupakan mekanisme kebebasan berekspresi dan penyaluran pendapat dengan penuh keterbukaan dan kejujuran. Hal tersebut menjadi pertanda adanya penghargaan terhadap pihak lain. Sementara demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. Demokrasi menyoal nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi individu, penolakan terhadap kekuasaan tiran, dan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam mengurus pemerintahan. 

 


Namun demikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam Islam masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian dalam menyikapi konsep demokrasi, ada baiknya kalian mengenali lebih lanjut pandangan-pandangan para ulama tentang hal tersebut.

 


Pandangan Ulama (Intelektual Muslim) tentang Demokrasi


Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:


1.    Abul A’la Al-Maududi

Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung  sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).

 

2.    Mohammad Iqbal

Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat.

Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:

a)    Tauhid sebagai landasan asasi.

b)    Kepatuhan pada hukum.

c)     Toleransi sesama warga.

d)    Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.

e)     Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

 

3.    Muhammad Imarah

Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh(yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).

 

Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas  kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’râf/7:54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

 

4.    Yusuf al-Qardhawi

Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut:

  1. Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya.
  2. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
  3. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
  4. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
  5. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

 

5.    Salim Ali al-Bahasnawi

Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram.

 

Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut:

  1. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.
  2. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugastugas lainnya
  3. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'an dan Sunnah (Q.S.an-Nisa/4:59)dan (Q.S.al-Ahzab/33:36).
  4. Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

 

Menerapkan Perilaku Mulia

Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut:

  1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat (tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala);
  2. Menghargai pendapat orang lain;
  3. Berlapang dada untuk saling memaafkan;
  4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah;
  5. Menerima keputusan bersama (hasil musyawarah) dengan ikhlas;
  6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal;
  7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama;
  8. Menolak segala bentuk diskriminasi atas nama apapun;
  9. Berperan aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa

Demikian Materi Demokrasi Dalam Islam semoga bermanfaat.


KESIMPULAN :


Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa demokrasi dan syura memiliki banyak persamaan, tetapi demokrasi sendiri bermain pada wilayah politik. Jika demikian pada satu sisi, Syurmerupakan bagian dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang diusung demokrasi. Pada sisi lain, nilai-nilai luhur yang diusung oleh konsep demokrasi adalah nilai-nilai yang sejalan dengan visi Islam itu sendiri. 

Nilai Islami bukanlah sesuatu yang berasal dari kaum muslimin saja (dari dalam), tetapi semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Barat maupun Timur, karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur (diskriminasi), justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”.

Rekomendasi

Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo